Tren Digital 2024: Akankah Kecerdasan Buatan Makin Mendominasi?

Selama 2023, dunia dikejutkan dengan melejitnya kemampuan kecerdasan buatan. Berbagai pertanyaan bermunculan, mulai dari potensi digantinya tenaga manusia dengan teknologi, potensi ekonomi, hingga potensi bahaya yang ditimbulkan dari progres teknologi mutakhir ini.
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mendapatkan momentum di 2023. Melejitnya kemampuan dan penggunaan teknologi ini didorong oleh munculnya beberapa peranti seperti ChatGPT dan Bard yang masif digunakan. Penggunaan peranti kecerdasan buatan tersebut terbukti banyak membantu berbagai industri untuk bekerja lebih efisien.
Secara umum, bentuk kecerdasan buatan di atas disebut dengan kecerdasan buatan generatif (generative AI). Singkatnya, kecerdasan buatan ini mampu menerima masukan berupa teks, gambar, video, hingga suara dan mengolahnya menjadi produk yang diperintahkan oleh pengguna. Konten yang dihasilkan dari proses di atas berupa-rupa, mulai dari esai, solusi dari persoalan matematis, sampai gambar ”palsu”.
Kemampuan dari kecerdasan buatan untuk melakukan generasi konten ini diambil dari perbendaharaan yang ada di internet. Mesin-mesin kecerdasan buatan diciptakan untuk bisa mempelajari miliaran konten yang tersedia di internet, dan menghasilkan sesuatu yang ”baru”, yang sesuai dengan perintah dari sang pengguna.
Sejatinya, kecerdasan buatan ini bukanlah teknologi yang baru. Pada medio 1960-an, teknologi ini sudah dikembangkan dalam bentuk bot obrolan (chatbot).
https://assetd.kompas.id/TIw_Tr3tBPS5KGzW42pWV3Q_8qs=/1024x842/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F03%2Ff4a68139-9798-407a-bfeb-2e26b981f95e_png.png
Salah satu yang mengembangkan teknologi ialah seorang profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) bernama Joseph Weizenbaum. Mengaplikasikan teori struktur sintaksis linguis kenamaan Noam Chomsky, Weizenbaum membuat chatbot bernama Eliza yang berfungsi untuk menyimulasi pembicaraan dengan seorang psikoterapis.
Hampir lima dekade berselang, teknologi kecerdasan buatan mengalami momentum. Pada 2014 Ian Goodfellow, seorang saintis komputer di belakang Google, Apple, dan OpenAI, menemukan algoritma pembelajaran baru untuk kecerdasan buatan, yakni generative adversarial networks (GAN).
Algoritma inilah yang kemudian memungkinkan kecerdasan buatan bisa mengolah data dengan ”lebih kreatif” sehingga mampu menciptakan keluaran yang memiliki kebaruan. Artinya, temuan ini membuat AI mampu menciptakan konten, baik dalam bentuk teks, gambar, suara, maupun video, yang sebelumnya ”tidak ada” dari berbagai masukan yang diberikan.
Tren ”generative AI”
Meledaknya penggunaan kecerdasan buatan generatif pada tahun 2023 menunjukkan besaran potensi pasar yang dihasilkan teknologi tersebut. Laporan dari Deloitte pada Desember 2023 memprediksi bahwa generative AI masih akan tetap mendominasi lanskap digital setahun mendatang.
Berdasarkan laporan bertajuk ”Technology, Media & Telecommunications (TMT) 2024 Predictions” tersebut, generative AI akan menjadi produk unggulan yang ditawarkan oleh berbagai penyedia layanan peranti lunak. Para pelaku usaha ini pun diperkirakan bisa mendongkrak pendapatan hingga lebih dari 10 miliar dollar AS pada akhir 2024.
Temuan Deloitte ini diperkuat dengan data yang ditunjukkan oleh Statista Market Insight. Berdasarkan temuan lembaga tersebut, nilai pasar dari kecerdasan buatan generatif ini akan mengalami kenaikan hingga di atas 66 miliar dollar AS pada 2024. Nilai tersebut merupakan peningkatan sebesar sekitar satu setengah kali lipat dari tahun 2023 dengan nilai pasar di kisaran 44 miliar dollar AS.
Peranti lunak yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk penggunaan militer diperkenalkan oleh Anduri di pameran dan konferensi Kedirgantaraan, Luar Angkasa, dan Siber di Oxon Hill, Maryland, Amerika Serikat, Rabu (13/9/2023).
(AP PHOTO/ALEX BRANDON)
Peranti lunak yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk penggunaan militer diperkenalkan oleh Anduri di pameran dan konferensi Kedirgantaraan, Luar Angkasa, dan Siber di Oxon Hill, Maryland, Amerika Serikat, Rabu (13/9/2023).
Data longitudinal dari Statista Market Insight menunjukkan tren kenaikan nilai pasar dari industri generative AI yang konsisten sejak 2020. Saat itu, nilai pasar produk-produk ini baru menyentuh 5,6 miliar dollar AS. Selama tiga tahun, nilai pasar kecerdasan buatan generatif terus mengalami peningkatan dengan laju cepat, yakni dua kali lipat per tahun.
Selama setengah dekade ke depan, tren kenaikan ini diprediksi akan terus terjadi. Meski lajunya melambat, naiknya besaran pasar dari industri ini membuat kecerdasan buatan generatif menjadi salah satu yang paling memiliki prospek cerah di tahun-tahun mendatang. Bahkan, jika momentum ini terus terjaga, nilai pasar dari kecerdasan buatan generatif akan menyentuh angka 207 miliar dollar AS pada 2030.
Meroketnya nilai pasar dari kecerdasan buatan generatif ini turut membawa berkah ke industri sekitarnya. Salah satu sektor yang nantinya ikut terdorong adalah manufaktur cip komputer. Telaah dari Deloitte menyebutkan bahwa produsen cip yang mampu mendukung performa kecerdasan buatan generatif bisa mendulang penjualan sampai lebih dari 50 miliar dollar AS hingga pada akhir 2024.
Potensi bahaya
Di satu sisi, perkembangan teknologi ini bisa berdampak positif terhadap banyak sektor. Selain dapat memotong ongkos produksi dan menyederhanakan proses bisnis, teknologi ini juga bisa mengurangi faktor kesalahan manusia.
Namun, di sisi lain, kecerdasan buatan generatif juga memiliki potensi bahaya yang patut diwaspadai. Tidak hanya mendisrupsi pasar, termasuk mengancam beberapa pekerjaan yang bisa digantikan, teknologi ini juga bisa ”merusak” tatanan sosial dan politik yang ada sekarang.
Salah satu ancaman nyatanya adalah penggunaan kecerdasan buatan generatif untuk membuat gambar, audio, atau video palsu atau kerap disebut dengan deepfake. Dalam konteks pemilihan umum, misalnya, teknologi ini akan sangat membantu para perusuh membuat konten-konten hoaks untuk kepentingan elektoral. Maka, dampak dari penyalahgunaan ini pun bisa berujung pada keterbelahan masyarakat dan kemerosotan demokrasi.
Tidak heran, banyak dari masyarakat yang merasa khawatir terhadap perkembangan teknologi ini. Survei dari PEW Research pada pertengahan 2023 menunjukkan bahwa mayoritas warga AS justru lebih khawatir ketimbang antusias terhadap perkembangan ini. Beberapa poin yang dikhawatirkan menyangkut soal privasi dan kemampuan para pelaku industri untuk mengontrol laju perkembangan teknologi tersebut.
Kekhawatiran ini pun ditangkap oleh pemerintah di banyak negara. Sebagai respons, mereka pun telah sigap menyiapkan regulasi terkait dengan teknologi kecerdasan buatan generatif. Italia, misalnya, pernah memblokir penggunaan ChatGPT pada Maret 2023.
Meski hanya bertahan sebulan, langkah tersebut dilanjutkan dengan digelontorkannya dana sebesar 33 juta dollar AS untuk mendukung para pekerja yang terdampak teknologi ini. Harapannya, program pelatihan yang dilaksanakan dari dana tersebut bisa membekali para pekerja untuk pindah haluan ketika pekerjaan mereka benar-benar digantikan oleh kecerdasan buatan.
Selain Italia, China menjadi salah satu negara yang cukup khawatir terhadap perkembangan kecerdasan buatan generatif. Meski belum disahkan, draf UU terkait teknologi ini telah disiapkan oleh pemerintah negara tersebut.
RUU ini cukup komprehensif, dengan menitikberatkan pada tanggung jawab para pengembang, batasan pengambilan data untuk melatih teknologi kecerdasan buatan generatif, hingga soal hak kekayaan intelektual.
Selaras, Pemerintah Brasil pun tengah menyiapkan sebuah draf RUU yang lengkap terkait kecerdasan buatan generatif.
Sedikit berbeda dari RUU di China, draf RUU di Brasil ini menitikberatkan pada hak pengguna. Misalnya, pengguna teknologi ini berhak untuk tahu soal proses pertimbangan keluaran AI dan untuk meminta adanya intervensi manusia di tengah proses.
Hal ini akan sangat berpengaruh dalam aplikasi kecerdasan buatan generatif di beberapa skenario, seperti identifikasi biometrik, kendaraan otomatis, diagnosis kesehatan, dan evaluasi keuangan untuk kredit.
Meskipun begitu, aspek pertanggungjawaban dari pengembang kecerdasan buatan generatif juga tidak absen dalam draf ini.
Para pengembang harus melakukan analisis risiko sebelum memakai teknologi kecerdasan buatan generatif. Apabila nantinya terjadi kerugian pada pengguna, perusahaan pengembang bisa dikenai sanksi oleh pemerintah.
Beberapa langkah pencegahan ini juga perlu diikuti oleh Pemerintah Indonesia. Tanpa adanya payung regulasi, tidak tertutup kemungkinan dampak-dampak negatif yang ditakutkan ini bisa terjadi.
Jangan sampai, karena abai, masyarakat yang terpapar penggunaan teknologi kecerdasan buatan generatif ini yang menjadi korban di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)